Senin, 16 Maret 2009

KEBIJAKAN EKONOMI

Persoalan ekonomi erat sekali kaitannya dengan kehidupan manusia lantaran ekonomi menjadi barometer untuk mengukur kesejahteraan seseorang. Negara dikatakan maju karena ekonominya maju, lah pun sebaliknya bila dikatakan berkembang lantaran ekonominya masih labil. Persoalan ekonomi pada suatu negara ibarat nadi yang berdenyut pada tubuh manusia.

Hal menarik yang perlu dikaji menyangkut persoalan ekonomi kaitannya dengan negara adalah kebijakan yang membentengi berbagai persoalan rumit kenegaraan. Bila ditelisik lebih dalam ada beberapa tujuan kebijakan ekonomi, diantaranya:

1. Menstabilkan kegiatan ekonomi

2. Mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja

3. Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik

4. Menghindari inflasi

Secara garis besar ada dua bentuk kebijakan ekonomi. Pertama, kebijakan moneter. Kedua, kebijakan fiskal.

Marilah kita bahas satu per satu! Kebijakan moneter diartikan sebagai kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam mengatur jumlah uang yang beredar agar perekonomian berjalan pada kondisi yang diinginkan. Lalu apa instrument kebijakan moneter?

1. Operasi pasar terbuka (Open market operation)

2. Fasilitas diskonto (Discount rate)

3. Rasio cadangan wajib (Reserve requirement ratio)

4. Himbauan moral (Moral persuasion)

Kebijakan ekonomi yang kedua adalah Kebijakan fiskal. Kebijakan ini diartikan sebagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Penerimaan pemerintah yang utama adalah melalui Pajak (Tax yang dinotasikan dengan T), sementara pengeluaran pemerintah berupa belanja negara (government expenditure dinotasikan dengan G).

Secara garis besar, pajak terbagi atas pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang secara langsung dikenakan pada wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, sementara Pajak tidak langsung adalah jenis pajak yang bebannya boleh dialihkan kepada pihak lain.

Sementara itu, Pajak nominal (pajak tetap) adalah tarif pajak yang pengenaannya berdasarkan sejumlah nilai nominal tertentu. Tarif pajak ini dinotasikan dengan T. Pajak persentase adalah pajak yang tarifnya ditentukan berdasarkan prosentase tertentu (dinotasikan dengan t). Pajak persentase dibedakan menjadi:

a. Pajak proporsional; tarif pajak dengan posentase yang tetap.

b. Pajak progessif; tarifnya makin tinggi bila dasar pengenaan pajaknya makin tinggi

c. Pajak regresif; tarif pajak semakin rendah pada saat penghasilan meningkat.

Dalam konsep ekonomi Islam, pajak yang diberlakukan adalah pajak proporsional (proporsional tax) bukan pajak nominal (lump sum tax).

Pembahasan selanjutnya mengenai pengaruh Pajak terhadap kegiatan ekonomi. Pada perekonomian tiga sektor, berlaku persamaan Yd = Y - T

dimana Yd adalah pendapatan disposible yaitu pendapatan yang siap dibelanjakan setelah dipotong pajak. Dengan demikian maka setiap pemungutan pajak sebesar T akan mengurangi pendapatan disposible turun sebesar T

Yd = -T

Adanya pengurangan pendapatan disposible tersebut akan mengurangi porsi rumah tangga untuk melakukan konsumsi dan menabung pada berbagai tingkat pendapatan. Berlawanan dengan pajak yang mengurangi pendapatan, subsidi justru merupakan penambah nilai riil pendapatan disposible. Dengan penambahan tersebut maka akan menambah tingkat konsumsi dan tabungan dalam perekonomian yang ditunjukan dalam persamaan berikut:

Tambahan konsumsi C = b x Q

Tambahan tabungan S = (1-b) x Q

Dimana Q : jumlah subsidi dan b adalah MPC

Pendapatan pemerintah yang salah satunya dari pajak, akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah, seperti: gaji pegawai pemerintah, pendidikan dan kesehatan, perbelanjaan angkatan bersenjata, pembangunan infrastruktur, dan pengeluaran lainnya. Dalam melakukan pengeluaran tersebut, terdapat beberapa faktor yang menentukan, yaitu:

1. Proyeksi jumlah pajak yang diterima

2. Tujuan-tujuan ekonomi yang dicapai

3. Pertimbangan politik dan keamanan

Efektifkah kebijakan yang diterapkan? Jawabannya bias dianalisis melalui kurva IS-LM. Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dikatakan efektif jika dapat mengendalikan tingkat output, tingkat harga, dan tingkat bunga. Untuk melihat perubahan kondisi keseimbangan pasar akibat kebijakan moneter dan fiskal, dapat digunakan pendekatan analisis kurva IS-LM. Pada analisis IS-LM akan dilihat bagaimana keseimbangan pendapatan nasional dicapai dalam keadaan tingkat bunga yang mengalami perubahan.

Dalam analisis IS dan LM peristiwa dalam perekonomian akan dibahas dalam dua sudut pandangan, yaitu:

1. Kegiatan sektor produksi (sektor riil) melihat hubungan di antara tingkat bunga dengan keseimbangan pendapatan nasional. Digambarkan dengan kurva IS (Investment/Saving Equilibrium)

2. Kegiatan sektor keuangan melihat hubungan di antara keseimbangan permintaan dan penawaran uang dan tingkat bunga yang ditentukannya dengan pendapatan nasional pada keseimbangan tersebut. Digambarkan dengan kurva LM (Liquidity preference/ Money supply equilibrium"

Perlu dipahami, bahwa kurva IS adalah kurva yang menggambarkan keseimbangan pendapatan nasional (dan tingkat pendapatan nasional yang dicapai) pada berbagai tingkat bunga. Sedangkan kurva LM adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara tingkat bunga yang diwujudkan oleh keseimbangan di antara permintaan dan penawaran uang dengan pendapatan nasional di mana keseimbangan tersebut dicapai. (Sadono Sukirno, 2002: 255).

Disusun oleh Muhammad Gufron Hidayat. Tugas mata kuliah Ekonomi Makro II, semester III program studi mu'amalat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009.

REVENUE SHARING DALAM KAJIAN FIQH DAN APLIKASI DI PERBANKAN SYARIAH

BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan asumsi bahwa para nasabah belum terbiasa menerima kondisi berbagi hasil dan berbagi resiko, maka sebagian bank syariah di Indonesia saat ini menempuh pola pendistribusian pendapatan (revenue sharing), di samping untuk menerapkan profit sharing bank harus menerapkan secara terinci memaparkan biaya-biaya operasional yang dibebankan kepada para pemilik dana.

Revenue sharing mengandung kelemahan, karena apabila tingkat pendapatan bank sedemikian rendah maka bagian bank, setelah pendapatan didistribusikan oleh bank, tidak mampu membiayai kebutuhan operasionalnya (yang lebih besar daripada pendapatan fee) sehingga merupakan kerugian bank dan membebani para pemegang saham sebagai penanggung kerugian. Sementara para penyandang dana atau investor lain tidak akan pernah menanggung kerugian akibat biaya operasional berikut.

Dengan kata lain secara tidak langsung bank menjamin nilai nominal investasi nasabah, karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan tidak mungkin terjadi pendapatan negatif. Selain belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah, pola revenue sharing tidak berbeda statusnya dengan wadi’ah.

Untuk lebih memahami bagaimana konsep revenue sharing dalam kaca mata Fiqh juga aplikasinya di perbankan, sejatinya penulis akan membahasnya lebih dalam pada lembaran-lembaran tugas ini.

BAB II

REVENUE SHARING

A. Pengertian

Revenue sharing secara etimologi berarti bagi hasil/pendapatan[1]. Revenue dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang dan jasa yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Berarti juga perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Dalam arti lain revenue berarti besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi.

B. Landasan Hukum

Alquran

“… dan sebagian orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” (QS. Al-Muzammil [73]: 20)

Pendapat Ulama

Imam Syafi’i

Imam syafi’i melarang adanya pengambilan biaya bagi pengelola modal. Pengelola modal tidak berhak mendapatkan biaya atas modal usaha, baik sedang melakukan bepergian dalam menjalankan usaha ataupun tidak. Kecuali jika pihak pemilik modal (sahibul maal) memberikan izin atas itu.

Hukum Positif

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 15/DSN-MUI/IX/2000

“Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing).”

C. Sekilas Revenue Sharing

Dalam sistem perekonomian Islam masalah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan pada awal terjadinya kontrak kerja sama (akad), di mana yang ditentukan adalah porsi masing-masing pihak, misalkan 35:65 yang berarti bahwa atas hasil usaha yang diperoleh akan didistribusikan sebesar 35% bagi pemilik dana (Sahibul maal) dan 65% bagi pengelola dana (Mudarib).

Sebenarnya, mekanisme perhitungan bagi hasil ini terdiri dari dua sistem:

a. Profit sharing. Adalah perhitungan bagi hasil didasarkan pada hasil net dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

b. Revenue sharing. Adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Dalam aplikasi perbankan syariah, di Indonesia umumnya digunakan perhitungan bagi hasil atas dasar revenue sharing untuk mendistribusikan bagi hasil kepada para pemilik dana (Deposan).

Apabila suatu bank menggunakan sistem profit sharing di mana bagi hasil dihitung dari pendapatan netto setelah dikurangi biaya bank, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil yang akan diterima oleh para sahibul maal (Pemilik dana) akan semakin kecil, tentunya akan mempunyai dampak yang signifikan apabila secara umum tingkat suku bunga pasar lebih tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi keinginan masyarakat untuk menginvestasikan dananya pada bank syariah yang berdampak menurunnya jumlah dana pihak ketiga secara keseluruhan.

Akan tetapi apabila bank tetap ingin mempertahankan sistem profit sharing tersebut dalam perhitungan bagi hasil mereka, maka jalan satu-satunya untuk menghindari risiko-risiko tersebut di atas adalah dengan cara bank harus mengalokasikan sebagian dari porsi bagi hasil yang mereka terima untuk subsidi terhadap bagi hasil yang akan dibagikan kepada nasabah pemilik dana. Dengan kata lain bank akan mengurangi porsi bagi hasil yang mereka peroleh untuk menutupi kekurangan bagi hasil yang akan diterima oleh masyarakat (Deposan).

Sementara di lain pihak apabila bank menggunakan sistem perhitungan bagi hasil berdasarkan revenue sharing di mana bagi hasil yang akan didistribusikan dihitung dari total pendapatan bank sebelum dikurangi biaya-biaya bank, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang akan diterima oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga pasar yang berlaku.

Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik dana untuk mengerahkan investasinya pada bank syariah yang nyatanya justru mampu memberikan hasil yang optimal, dan pada akhirnya akan berdampak kepada peningkatan total dana pihak ketiga pada bank syariah. Pertumbuhan dana pihak ketiga dengan cepat harus mampu diimbangi dengan penyalurannya dalam berbagai bentuk produk aset yang menarik, layak dan mampu membeerikan tingkat profitabilitas yang maksimal bagi pemilik dana.

BAB III

REVENUE SHARING DALAM HUKUM ISLAM

A. Pandangan Alquran

Segala sesuatu yang diterapkan di perbankan syariah tidak mungkin tanpa dasar hukum dan tinjauan agama yang meyakinkan. Ayat Alquran secara jelas memberikan ilustrasi tentang aspek muamalah terutama di surat Albaqarah [2]: 275-281, yaitu yang berkaitan dengan pembolehan jual beli (al-ba’i) dan pelarangan riba. Selebihnya banyak yang bersifat dzanni (ijtihadi) dan hanya merupakan turunan dari penjelasan ayat-ayat Alquran atau hadits Nabi yang bersifat qath’i. Termasuk dala, hal ini adalah masalah revenue sharing[2] yang secara operasional merupakan hasil ijtihad dari beberapa ulama fiqh diantaranya imam Syafi’i dan Imam Hanbali.

Wacana revenue sharing baru berkembang dan menjadi perdebatan antara ulama fiqh tatkala mereka membahas masalah mudharabah ataupun musyarakah. Konsep mudharabah dalam literatur fiqh terlihat sangat beragam dan belum mempunyai kesatuan istilah yang baku. Hal ini terindikasi dengan pemakaian kata yang beragam untuk memaknai kata mudharabah.

Penamaan macam syarikat ini (mudharabah) adalah menurut umat islam di Iraq, dan mereka juga menamainya dengan (al-mu’amalah). Dikatakan ‘amaltu rajulan mu’amalatun yang berarti saya memberinya uang untuk mudharabah.

Para penduduk Hijaz menamainya dengan Alqiradh, yaitu berasal dari kata qardh yang berarti pemotongan. Hal ini karena pemilik harta memotong dari sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan hak pengurusannya kepada orang yang mengelolanya, dan pengelola memotong untuk pemilik modal bagian dari keuntungan sebagai hasil dari usaha dan kerjanya untuk dibagikan sesuai dengan kesepakatn bersama.

Ayat Alquran yang menjadi landasan praktek mudharabah masih bersifat umum terdapat dalam QS. Al-Muzammil [73]: 20

“… dan sebagian orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” (QS. Al-Muzammil [73]: 20)

Yang menjadi pokok permasalahan dan pembahasan pada kaedah ini, bahwa revenue sharing prinsip pembagiannya didasarkan pada pendapatan usaha yang diterima, dan tanggungan biaya operasional yang dibebankan pada pihak pengelola modal (mudhorib).

B. Pendapat Ulama

1. Imam Syafi’i

Imam syafi’i melarang adanya pengambilan biaya bagi pengelola modal. Pengelola modal tidak berhak mendapatkan biaya atas modal usaha, baik sedang melakukan bepergian dalam menjalankan usaha ataupun tidak. Kecuali jika pihak pemilik modal (sahibul maal) memberikan izin atas itu.

2. Imam Hambali

Mengenai hal ini Imam Hambali sepakat dengan Imam Syafi’i.

3. Imam Malik

Berbeda dengan kedua Imam di atas, Imam malik membolehkan bagi pengelola mengambil biaya dari harta mudharabah jika ia telah melakukan/menjalankan usaha.

4. Imam Hanafi

Imam Hanafi sependapat dengan Imam Malik

5. Imam lainnya

Sebagian fuqaha seperti Ibrahim an-nakha’I, dan al-Hasan berpendapat bahwa pengelola modal mendapatkan biaya. Begitu juga pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri dan jumhur ulama bahwa pengelola mendapat biaya makan dan pakaiannya selama ia melakukan perjalanan (usaha).

BAB IV

APLIKASI DI PERBANKAN SYARIAH

A. Antara Profit Sharing dan Revenue Sharing

Profit Sharing

Profit Sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Dalam profit sharing yang dibagihasilkan antara pemilik dana dan pengelola dana adalah profit atau labanya.

Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.

Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.

Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.

Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.

Revenue Sharing

Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti;hasil,penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti pembagian hasil atau pendapatan. Dalam revenue sharing yang dibagihasilkan antara pemilik dana dengan pengelola dana adalah pendapatan

Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue)

Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.

Di dalam revenue sharing terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.

Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).

Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.

Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.

Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.

Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.

B. Prinsip Revenue Sharing[3]

Dari pengamatan yang dilakukan saat ini lembaga keuangan syariah, baik Bank Umum Syariah, Bank Konvensional yang mempunyai cabang syariah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Indonesia, dalam melakukan distribusi hasil usaha antara pemilik dana/shahibul maal (Deposan) dengan lembaga keuangan syariah sebagai mudharib masih menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) belum ada yang mempergunakan metode pembagian laba (profit sharing).

Distribusi hasil usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing), beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain.

1. Pendapatan operasi utama

Pendapatan utamanya adalah pendapatan dari penyaluran dana pada investasi yang dibenarkan syariah melalui prinsip jual beli (murabahah, istishna dan istishna paralel, salam dan salam paralel), prinsip bagi hasil (pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah), prinsip ujrah (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik), serta pendapatan yang sesuai dengan prinsip syariah lainnya.

Jadi pendapatan operasi utama bank syariah inilah yang akan dibagikan kepada sahibul maal atau sebagai unsur dalam perhitungan distribusi hasil usaha.

Besar pendapatan yang dibagikan dalam perhitungan distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing) ini adalah pendapatan dari pengelolaan dana (penyaluran) sebesar porsi dana mudharabah (investasi tidak terikat) yang dihimpun tanpa adanya pengurangan beban-beban yang dikeluarkan oleh bank syariah.

2. Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat

Merupakan porsi bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang diserahkan oleh bank syariah kepada pemilik dana mudharabah muthalaqoh (investasi tidak terikat). Penentuan besarnya bagi hasil dari pendapatan yang diserahkan kepada pemilik dana investasi tidak terikat tersebut dilakukan dalam perhitungan distribusi hasil usaha yang sering disebut dengan profit distribution.

Akuntansi perbankan syariah dijelaskan bahwa porsi bagi hasil dari pendapatan yang diserahkan pemilik dana investasi tidak terikat bukan sebagai beban bank syariah, karena besarnya bagi hasil yang diberikan sangat tergantung pada hasil usaha yang benar-benar diterima oleh bank syariah.

3. Pendapatan operasi lainnya

Pada prkatiknya dalam penyaluran dana bank syariah mengenakan fee administrasi atas penyaluran tersbut yang besarnya disepakati antara bank sebagai pemilik dana dan debitur sebagai pengelola dana (mudharib). Oleh karena bank syariah pendapatan fee administrasi tersebut menjadi milik bank sendiri karena pendapatan tersebut merupakan upah administrasi yang dilakukan bank syariah sehingga pendapatan tersebut bukan sebagai unsur distribusi hasil usaha.

Pendapatan operasi lain yang diperoleh bank syariah adalah pendapatan atas kegiatan usaha bank syariah dalam memberikan layanan jasa keuangan dan kegiatan lain yang berbasis imbalan seperti pendapatan fee inkaso, fee transfer, fee LC dan fee kegiatan yang berbasis imbalan lainnya. Pendapatan tersebut sepenuhnya menjadi milik bank syariah sehingga bukan sebagai unsur pendapatan pada distribusi hasil usaha.

4. Beban operasi

Dalam pembagian hasil usaha dengan prinsip revenue sharing semua beban yang dikeluarkan bank syariah sebagai mudharib, baik beban yang untuk kepentingan bank syariah sendiri maupun untuk kepentingan pengelolaan dana mudharabah, seperti beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi, beban operasi lainnya ditanggung oleh bank syariah sebagai mudharib.

Beban-beban tersebut tidak diperkenankan dipergunakan sebagai faktor pengurang dalam pembagian hasil usaha. Hal ini sangat berbeda apabila bank syariah dalam pembagian hasil usahanya mempergunakan prinsip profit sharing maka harus dipisahkan beban yang menjadi tanggungan bank syariah sendiri dan beban-beban yang menjadi tanggungan dana mudharabah.

C. Mekanisme Penghitungan[4]

a. Hitung saldo rata-rata harian sumber dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.

b. Hitung saldo rata-rata tertimbang sumber dana yang telah tersalurkan ke dalam investasi dan produk-produk aset lainnya.

c. Hitung total pendapatan yang diterima dalam priode berjalan.

d. Alokasikan total pendapatan kepada masing-masing klasifikasi dana yang dimiliki sesuai dengan data-data saldo rata-rata tertimbang.

e. Perhatikan nisbah sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam akad.

f. Distribusikan bagi hasil sesuai nisbah kepada pemilik dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.

Rumus Distribusi Pendapatan (RDP)

DP = (R/T) x P

Di mana: R = Saldo Rata-rata Tertimbang

T = Total Rata-rata Tertimbang Per Klasifikasi Dana

P = Total Pendapatan Yang Diterima Periode Berjalan

Umpama:

Saldo rata-rata harian;

- Simpanan mudarabah = Rp 660.000.000,-

- Investasi mudarabah 01 = Rp 1.000.000.000,-

- Investasi mudarabah 03 = Rp 820.000.000,-

- Investasi mudarabah 06 = Rp 320.000.000,-

- Investasi mudarabah 12 = Rp 600.000.000,-

Total saldo rata-rata harian Rp 3.400.000.000,-

Total pendapatan = Rp 102.000.000,-

Maka distribusi pendapatan untuk klasifikasi dana sebagai berikut:

Simpanan mudarabah

= Rp 660.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 19.800.000,-

Investasi mudarabah 01

= Rp 1.000.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 30.000.000,-

Investasi mudarabah 03

= Rp 820.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 24.600.000,-

Investasi mudarabah 06

= Rp 320.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 9.600.000,-

Investasi mudarabah 12

= Rp 600.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 18.000.000,-

Sehuingga total pendapatan yang didistribusikan sesuai dengan klasifikasi dana adalah sebesar Rp 102.000.000,- dan jumlah ini akan dibagikan kepada nasabah pemilik dana (sahibul maal) dan porsi bank sebagai pengelola dana (mudarib), berdasarkan atas nisbah yang telah disepakati pada akad/perjanjian awal.

BAB V

KESIMPULAN

Merujuk pendapat-pendapat di atas sistem revenue sharing pada perbankan sariah, yang membebankan biaya kepada pengelola dapat dibenarkan sesuai dengan pendapat imam Syafi’i dan Imam Hambali. Bentuk pelarangan pengambilan biaya pada akad kerjasama mudharabah, baik pada saat bepergian dalam menjalankan usaha maupun sedang menjalankan di sekitar daerahnya sendiri, dapat diartikan sebagai hal bahwa biaya operasional usaha tersebut ditanggung sendiri oleh pengelola modal (mudharib).

Dengan demikian revenue sharing dapat berlaku pada sistem perbankan syariah sesuai atas pendapat Imam Syafi’i dan Mazhab Imam Hambali. Yang melarang pengambilan biaya pada harta mudharabah oleh pihak mudharib.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional. Jakarta: Djambatan, 2003

2. Wiroso, S.E., M.B.A. Penghimpunan Dana dan Distribusi Usaha Bank Syariah. Jakarta: PT Grasindo, 2005

3. Arifin, Zainul, MBA, Drs. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006

4. Ali, Hasan dkk. Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah. Jakarta: PKES, 2007.



[1] Institut Bankir Indonesia, Tim Pengembang, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakartta: Djambatan, 2003), hal 264

[2] AM Hasan Ali dkk, Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah, (Jakarta: PKES), hal 98.

[3] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT Grasindo), hal 120.

[4] Institut Bankir Indonesia, Tim Pengembang, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakartta: Djambatan, 2003), hal 265



Disusun oleh Muhammad Gufron Hidayat. Tugas mata kuliah Fiqh Mu'amalat semester III, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.