Senin, 16 Maret 2009

AKAD DALAM GADAI SYARIAH

BAB I

PENDAHULUAN

Akad merupakan hal terpenting dari sebuah transaksi. Sah atau tidaknya transaksi bergantung pada akad yang dilakukan. Antara haramnya riba dan halalnya jual beli juga ditentukan oleh akad yang dilakukannya. Akad ibarat benang tipis yang memisahkan haluan kanan dan oposisinya.

Pegadaian syariah relatif baru sebagai suatu sistem keuangan. Penyebabnya karena sosialisasi yang kurang sehingga masyarakat menjadi kurang familiar dengan lembagai ini dibanding perbankan syariah yang cukup membumi. Selain itu kebijakan pemerintah juga menjadi kendala tersendiri yang menyumbat geliat pegadaian syariah di masyarakat.

Bila mengaitkan antara akad dan pegadaian syariah yang kian menggeliat, kita akan menemukan korelasi antara keduanya. Sosialisi jelas harus dilakukan untuk mendongkrak familiaritas gadai syariah di mata masyarakat. Dalam sosialisasi ini hendaknya ditekankan bagaimana urgensitas dan macam-macam akad yang dilakukan gadai syariah. Inilah kredit point yang bisa dipetik guna melicinkan tujuan tersebut.

BAB II

MEMAHAMI AKAD

A. Pengertian Akad

Dalam literatur Islam sitilah akad diartikan sebagai pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya[1]. Ikrar merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembentukan akad. Akad ini berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu sedangkan kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan kabul saling yang dilakukan saling bersesuaian, maka terjadilah akad di antara mereka.

B. Rukun dan Syarat Akad

Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu perbuatan yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu,[2] sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.[3]

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun dan syarat akad. Namun, sebagiannya berpendapat bahwa rukun dan syarat akad adalah sebagai berikut:

1. Al-Aqidain (Subjek Akad)

Alaqidain adalah pihak yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Ada duaa bentuk Alaqidain yaitu manusia dan badan hukum.

Dalam hukum Islam manusia yang sudah dapat dibebani hukum adalah orang yang sudah mukallaf. Pengertian mukallaf dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum Islam sebagai orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.[4]

Dari segi melakukan kecakapan melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk:

a. Yang tidak dapat melakukan akad apa pun, misalnya cacat jiwa, mental atau belum mumayyiz.

b. Yang dapat melakukan akad tertentu, misalnya anak yang sudah mumayyiz tetapi belum baligh.

c. Yang dapat melakukan seluruh akad yaitu orang yang sudah mukallaf.

Adapum syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut Hamzah Ya’cub adalah sebagai berikut:

a. Aqil, berakal sehat.

b. Tamyiz, dapat membedakan baik dan buruk.

c. Mukhtar, bebas dari paksaan.

2. Mahallul Aqd (Objek Akad)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul aqd adalah sebagai berikut:[5]

a. Objek akad telah ada ketika akad dilangsungkan.

b. Objek akad dibenarkan oleh syariah.

c. Objek akad harus jelas dan dikenali.

d. Objek dapat diserahterimakan.

3. Maudhu’ul Aqd (Tujuan Akad)

Menurut Ahmad Azhar Basyir, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tujuan akad dipandang sah dan mempunyai ketentuan hukum adalah sebagai berikut:

a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.

b. Tujuan harus berlangsung hingga berakhirnya pelaksanaan akad.

c. Tujuan akad harus sesuai syara’.

4. Sighat Akad

Beberapa persyaratan akad yang harus dipenuhi di antaranya:

a. Jala’ul ma’na, pernyataannya jelas.

b. Tawafuq, ada kesesuaian antara ijab dan kabul.

c. Jazmul iradatain, ijab dan kabul menunjukan keinginan pihak secara pasti.

Pada prakteknya akad dapat diterapkan pada bentuk lisan, tulisan, isyarat dan perbuatan.

BAB III

PEGADAIAN SYARIAH

A. Pengertian Gadai

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.[6] Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.

Gadai dalam fiqh disebut rahn,[7] yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminankepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.[8]

Pegadaian syariah sebagai lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat guna menetapkan pilihan dalam pembiayaan di sektot riil. Biasanya masyarakat yang berhubungan dengan pegadaian adalah masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan marjin yang rendah. Oleh karena itu barang jaminan pegadaian dari masyarakat ini memiliki karakteristik sehari-hari yang nilainya rendah.

B. Landasan Hukum

Al-Quran

“Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan), tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertaqwa kepada Allah SWT” (QS. Al-Baqarah (2): 283).

Al-Hadits

Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya beju besi beliau”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hukum Positif

Landasan di atas kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

a. Ketentuan Umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan marhun

A. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

B. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.

C. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

D. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

C. Rukun dan Syarat

Rukun

Ada beberapa rukun gadai yang harus dipenuhi pegadaian syariah, di antaranya:

1. Ar-Rahin (yang menggadaikan), dewasa, berakal, bisa dipercaya dan pemilik barang gadai.

2. Al-Murtahin (yang menerima gadai), orang atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang.

3. Al-marhun/rahn (barang yang digadaikan).

4. Al-Marhun bih (utang), sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin.

5. Sight, ijab dan kabul.

Syarat

1. Rahin dan murtahin, berakal sehat dan cakap hukum.

2. Sighat, tidak boleh terkait dengan syarat tertentu ataupun dengan waktu tertentu di masa depan.

3. Marhun bih (utang), harus dapat dimanfaatkan, dihitung jumlahnya dan merupakan hak yang wajib diberikan kepada pemiliknya.

4. Marhun (barang), secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat[9], antara lain:

a. Harus diperjualbelikan.

b. Harus berupa harta yang bernilai.

c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari’ah.

d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan.

e. Harus berupa barang yang diterima secara langsung.

f. Harus dimiliki oleh rahin atau setidaknya harus seizin pemiliknya.

D. Mekanisme Pegadaian Syariah

Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:

a. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.

b. Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai.

c. Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, biaya pemeliharaan, penjagaan dan lainnya.

d. Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.

E. Ketentuan Pegadaian Syariah

Adapun ketentuan-ketentuan dari operasi pegadaian syariah, sebagaimana dikemukakan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, adalah sebagai berikut:

1. Bila pegadaian memanfaatkan barang gadaian.

2. Anak (hewan) gadaian dan manfaat-manfaat gadaian.

3. Borg atau jaminan tetap berada di tangan pegadaian sebelum orang yang menjadi nasabah membayar utang.

4. Menyita barag gadaian.

BAB IV

AKAD DALAM GADAI SYARIAH

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pegadaian bisa sah bila memenuhi tiga syarat:

1. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.

2. Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf.

3. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai.

Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian,[10] yaitu:

1. Akad al-Qardul Hasan, dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhun).

2. Akad al-Mudharabah, dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai barang yang dipinjam dilunasi.

3. Akad Bai’ al-Muqayadah, sementara akad ini dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian pembelian barang. Sedangkan barang jaminan yang dapat dijamikankan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan memberikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Lebih jelasnya, akad utama yang diterapkan di pegadaian syariah adalah akad rahn (gadai).

BAB V

KESIMPULAN

Belakangan ini, motor ekonomi yang berbau syariah memang sedang naik daun. Dimulai dari perbankan yang telah gandrung menggunakan konsep syariah, hotel bahkan restoran pun kini banyak juga yang menggunakan konsep syariah. Sejalan dengan itu, lembaga pegadaian yang sejatinya berasaskan konvensional kini tengah menyesuaikan diri dengan konsep syariah yang kian membumi.

Pegadaian syariah, dalam aplikasinya sangat erat sekali kaitannya dengan akad yang digunakan. Tak bisa dipungkiri bahwa halal haramnya suatu perbuatan kadang hanya terpisahkan benang tipis berupa akad. Oleh karena itulah konsep akad merupakan sesuatu yang sangat urgent untuk dinukil.

Akad utama yang digunakan di pegadaian syariah adalah rahn (gadai). Rahn ini kemudian mengalami kodifikasi menyesuaikan dengan konsep dan produk yang berlaku di pegadaian konvensional. Mengapa? Karena pegadaian, secara institusi adalah lembaga profit oriented yang mengharapkan upah dalam setiap transaksinya. Oleh karena itu, persaingan tetap diperhatikan tentunya dengan berpijak pada landasan syariah agar tetap pada jalur yang semestinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wirdyaningsih, SH., MH dkk. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.

2. Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogayakarta: Ekonisia, 2007.

http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/fatwa.php


[1] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalat Konstektual (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 76.

[2] Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 1510.

[3] Ibid., hlm. 1691.

[4] Ibid., hlm. 1219.

[5] Mas’adi, Op.cit., hlm. 86-89.

[6] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, jilid 2, (Yogyakarta, Ekonisia, 2007), hlm. 156.

[7] Kata rahnun (gadaian) dari segi bahasa berarti tsubutun (tetap). Ada yang mengartikan ihtibasun (menahan) lihat al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini (1997), Khifayatul Akhyar, Bina Ilmu. Surabaya, h. 58.

[8] Syekh Muhammad Abid as-Sindi, (2000) Musnad Syafi’i, juz I dan II, Sinar Baru Algensindo, Bandung, h. 180.

[9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, jilid 2, (Yogyakarta, Ekonisia, 2007), hlm. 161.

[10] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, jilid 2, (Yogyakarta, Ekonisia, 2007), hlm. 164.



Disusun oleh Muhammad Gufron Hidayat. Tugas mata kuliah Fiqh Muamalat semester III, Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar